Tahap yang pph nya Non Final, banyak sekali kita temui fenomena suami-istri yang sama-sama bekerja. Jika tahap demikian, tahap yang didapat tentunya tak bisa dihindarkan dari pajak tahap. Terlebih jika pasangan pasangan-istri tersebut telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pernah melaporkan pajaknya sebelum menikah. Apa yang harus dilakukan?
Ada satu kasus dimana terdapat pasangan-istri yang sama-sama bekerja dan sama-sama memiliki NPWP sendiri. Namun, pelaporan pajak, pajak yang didasarkan oleh istri tanggung jawab bayar. Mengapa demikian? Sama suami, istri juga tarif pajak progresif dimana hal ini hanya dikenakan 1 orang dari setiap keluarga.
Masalah diatas kebanyakan terjadi karena ketidaktahuan saat istri memutuskan memiliki NPWP yang terpisah dari NPWP suami. Walaupun hal ini bisa terjadi karena kurangnya sosialisasi petugas pajak dalam penerapan aturan terbaru, pengetahuan tentang pengenaan pajak bagi suami-istri menjadi salah satu hal yang penting diketahui sebelum menikah.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) nomor 36 tahun 2008 kenyataan bahwa tahapan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabung sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (dalam hal ini suami). Dari sini, bisa dikatakan bahwa sistem pengenaan pajak di Indonesia yang menyebutkan bahwa kesatuan ekonomi, dan kewajiban NPWP dipegang atas nama suami.
Oleh karena itu, tahap dan kerugian istri akan tahap sebagai tahap dan kerugian suami juga, sehingga dikenai pajak atau tarif pajak progresif seperti yang diatas. Namun jika tahap istri hanya didapat satu pemberi kerja dan tidak ada yang bersangkutan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka tidak akan digabung. Dengan catatan tersebut telah dipotong pajak oleh pemberi kerja. Penghasilan istri tersebut akan dilaporkan dalam laporan Surat pemberitahuan (SPT) tahunan, bukan dalam kolom induk. Yaitu dalam kolom: Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan / atau bersifat Final.
Mungkinkah Suami Istri Kewajiban Pajak Yang Terpisah, Dimana Istri Memiliki NPWP Sendiri?
Pasal 8 ayat (2) UU PPh pembantuan dapat dikenakan secara terpisah dengan tiga kondisi suami-istri yang bekerja sebagai berikut.
Pertama: Suami-istri telah berpisah (bercerai), pajaknya otomatis mulai dikenakan secara terpisah. Biasanya tanggungan anak akan tergantung perjanjian, apakah anak tersebut ikut suami atau istri.
Kedua: Berdasarkan perjanjian tertulis pisah harta oleh suami-istri (perjanjian harta gono-gini)
Ketiga: Istri ingin melaksanakan hak dan kewajiban pajak dari suami, meski tidak ada perjanjian tertulis pisah harta. Terlebih jika istri diharuskan memiliki NPWP pribadi untuk hal lain semacam bank pinjaman, cicilan rumah, dsb. Ilustrasi kasus diatas termasuk dalam kategori ini. Sebagai konsekuensinya, sang istri juga harus dikenakan pajak progresif.
Dasar Penghitungan Pajak Bagi Suami-Istri
Ketika istri dalam status menikah memiliki NPWP sendiri maka pengenaan pajaknya diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh, yaitu tahapan neto suami-istri digabung kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan gaji neto mereka. Berikut contoh perhitungannya:
Ada pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak, dimana NPWP hanya dimiliki oleh suami. Penghasilan netto tahun 2015 yang diperoleh pasangan sebesar Rp. 75.000.000, -. Sedangkan tahap netto istri dalam pedoman sebesar Rp. 60.000.000, -. Besaran potongan pajak yang di potong oleh perusahaan dapat diketahui sebagai berikut:
Suami |
|
Penghasilan Netto |
75.000.000 |
PTKP (K / 0) |
26.325.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
48.675.000 |
PPh terutang terutang |
2.433.750 |
|
|
Istri |
|
Penghasilan Netto |
60.000.000 |
PTKP (TK / 0) |
24.300.000 |
Penghasilan Kena Pajak |
35.700.000 |
PPh terutang terutang |
1.785.000 |
Karena NPWP istri berbeda dengan pasangan NPWP, maka penghitungan PPh terutangnya digabung.
Penghasilan suami istri digabung |
|
Penghasilan netto suami |
75.000.000 |
Penghasilan netto istri |
60.000.000 |
Tahap total netto |
135.000.000 |
PTKP (K / I / 0) |
50.625.000 |
Total Penghasilan Kena Pajak |
84.375.000 |
PPh terutang terutang |
|
5% x 50.000.000 |
2.500.000 |
15% x 34.375.000 |
5.156.250 |
Total PPh terutang terutang |
7.656.250 |
|
|
Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh suami |
|
PPh terutang |
|
(75.000.000 / 135.000.000) x 7.656.250 |
4.253.472 |
Kredit pajak PPh 21 |
2.433.750 |
PPh bayar |
1.819.722 |
Angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya |
151.644 |
|
|
Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh istri |
|
PPh terutang |
|
(60.000.000/135.000.000)x 7.656.250 |
3.402.778 |
Kredit pajak PPh 21 |
1.785.000 |
PPh kurang bayar |
1.617.778 |
Angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya |
134.815 |
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat jika istri memiliki NPWP sendiri ada kekurangan pajak sebesar Rp. 3.437.500,- yang harus dibayar suami dan istri. Belum lagi nantinya tiap bulan harus sisihkan sebagian penghasilan untuk bayar angsuran PPh Pasal 25 total sebesar Rp. 286.458,-. Sementara jika NPWP hanya dimiliki oleh suami maka tidak ada kekurangan pajak, karena angka tersebut telah dipotong perusahaan suami.
Dengan adanya kasus diatas, pengetahuan tentang pajak suami-istri yang bekerja merupakan hal penting yang harus diketahui oleh calon pasangan sebelum menikah. Apakah mereka telah melihat plus-minus jika istri memiliki NPWP sendiri atau cukup NPWP suami saja. Permohonan penghapusan NPWP menjadi salah satu hal penting yang dilakukan pasangan setelah resmi menikah agar di bulan yang sama mereka tidak dikenakan pajak progresif.